Tidak ada yang salah dari pendidikan relijius yang ditanamkan semenjak
kecil, bahkan hal tersebut seyogiyanya dilakukan sebagai penyeimbang
kehidupan horizontal dan vertikal, tetapi pendidikan dogma satu arah
tanpa adanya kesempatan untuk bertanya kebenaran ditambah ancaman
judgement tanpa ampun atas kesalahan dapat membentuk pribadi generasi
"yes man" selama itu dibalut dengan "bumbu" kepercayaan.
Tradisi berpikir kritis terkadang dianggap sebagai wabah bahkan hama dalam kepercayaan karena bahaya yang dapat menuntun orang untuk berpikir bebas. Dalam Pergolakan Pemikiran Islam, Ahmad Wahib pernah menuliskan bahwa orang-orang yang berpikir walaupun hasilnya salah, masih lebih baik dari orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir, bukankah orang yang tidak berpikir juga memiliki potensi untuk salah? Kalau begitu bagaimana kebenaran-kebenaran baru dapat ditemukan?
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah joke yang mengatakan bahwa orang yang beriman tanpa berpikir sejatinya lebih mirip malaikat, dan bukan rahasia kalau malaikat derajatnya lebih rendah dari manusia. Ya, sebuah satir yang menohok.
Lebih lanjut, generasi "yes man" yang semenjak kecil dijejali doktrin secara tekstual dengan mengesampingkan konteks akan lebih cepat menelan mentah mitos tanpa penalaran lebih dalam, mitos-mitos yang disebarkan orang tua pada zaman dahulu dimaksudkan untuk mencegah anak-anak melakukan hal buruk tapi dengan bahasa yang mudah dicerna, namun di era kemudahan akses audio visual tradisi berpikir ala mitos tersebut menjelma menjadi monster pembenaran tanpa penalaran secara logis yang kini kita kenal dengan ilmu "Cocoklogi".
26 Oktober 2015,
Kaohsiung, Taiwan.
(Terinspirasi dari tulisan Prof. Rhenald Kasali)
http://fajar.co.id/headline/2015/10/25/subhanallah-saat-kebakaran-hutan-ada-api-berbentuk-lafadz-allah.html
Tradisi berpikir kritis terkadang dianggap sebagai wabah bahkan hama dalam kepercayaan karena bahaya yang dapat menuntun orang untuk berpikir bebas. Dalam Pergolakan Pemikiran Islam, Ahmad Wahib pernah menuliskan bahwa orang-orang yang berpikir walaupun hasilnya salah, masih lebih baik dari orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir, bukankah orang yang tidak berpikir juga memiliki potensi untuk salah? Kalau begitu bagaimana kebenaran-kebenaran baru dapat ditemukan?
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah joke yang mengatakan bahwa orang yang beriman tanpa berpikir sejatinya lebih mirip malaikat, dan bukan rahasia kalau malaikat derajatnya lebih rendah dari manusia. Ya, sebuah satir yang menohok.
Lebih lanjut, generasi "yes man" yang semenjak kecil dijejali doktrin secara tekstual dengan mengesampingkan konteks akan lebih cepat menelan mentah mitos tanpa penalaran lebih dalam, mitos-mitos yang disebarkan orang tua pada zaman dahulu dimaksudkan untuk mencegah anak-anak melakukan hal buruk tapi dengan bahasa yang mudah dicerna, namun di era kemudahan akses audio visual tradisi berpikir ala mitos tersebut menjelma menjadi monster pembenaran tanpa penalaran secara logis yang kini kita kenal dengan ilmu "Cocoklogi".
26 Oktober 2015,
Kaohsiung, Taiwan.
(Terinspirasi dari tulisan Prof. Rhenald Kasali)
http://fajar.co.id/headline/2015/10/25/subhanallah-saat-kebakaran-hutan-ada-api-berbentuk-lafadz-allah.html
0 komentar:
Posting Komentar