Selama satu tahun mencari ilmu di negeri Formosa entah beberapa kali
saya disangka sebagai orang lokal, mungkin mereka menyangka saya
sebagai orang lokal karena penampilan dan fisik yang tidak beda jauh
dengan mereka.
Berbeda dengan rekan-rekan yang lain, saya tipikal
orang yang cenderung menutupi identitas terlebih dahulu jika bertemu
dengan orang baru, ketika berkenalan sayalah yang terlebih dahulu
bertanya "where do you come from?", dan jika lawan bicara tidak bertanya
balik belum tentu saya akan memberi tahu tentang kewarganegaraan.
Begitu pula dengan kepercayaan, saya termasuk orang yang tidak menunjukkan diri saya seorang muslim melalui penampilan.
"Penutupan" diri ini bukan tanpa alasan, selama berada di negeri orang,
saya ingin tahu apa pendapat bangsa lain secara objektif mengenai dua
hal yang melekat pada diri saya, yaitu negara dan agama. Cara saya
mencari tahu hal ini adalah dengan membaurkan diri di berbagai
kesempatan dan pertemuan yang melibatkan orang dari berbagai bangsa.
Salah satu komunitas yang saya ikuti di sini adalah komunitas traveller
dan hiker, rutin setiap minggunya saya selalu bertemu dengan
orang-orang baru dari berbagai bangsa dengan beragam tujuan mengunjungi
kota Kaohsiung -sebagian besar untuk travelling-,
Seperti yang
sudah disebutkan di atas, dalam perkenalan dengan orang baru, saya
cenderung "menutup" identitas saya sebagai seorang muslim, tetapi dalam
perbincangan yang terjadi saya sangat sering mengarahkan topik
pembicaraan tentang reliji dan tentunya muslim dalam perspektif mereka.
Memancing untuk berbicara blak-blakan agak sulit dilakukan jika mereka
sebelumnya mengetahui saya seorang muslim, jelas mereka tidak ingin
menyakiti perasaan saya jika harus berkata hal yang buruk, karena itu
untuk observasi perspektif saya harus "menyembunyikan" identitas
terlebih dahulu.
Dan dari diskusi-diskusi yang pernah dilakukan,
ada yang biasa-biasa saja, ada yang tertarik untuk mengetahui tentang
kehidupan muslim, dan ada yang tertarik untuk bepergian ke negara
muslim.
Ajaibnya, dari diskusi tersebut saya tidak pernah
mendengar adanya perspektif negatif dari mereka tentang umat Islam
(ingat, saya melakukan diskusi ini dengan "tanpa identitas muslim", jadi
mereka bebas mengutarakan apa yang ada di pikiran tanpa harus takut
menyakiti perasaan saya) mengingat banyaknya pemberitaan -terutama dari
media barat- yang mengarahkan Islam ke stigma negatif entah kekerasan
atau terorisme.
Dari sini saya mencoba mencari penyebab mengapa
mereka tidak berpikiran buruk sementara di sisi lain selalu ada pihak
yang selalu merasa dizalimi dan playing victim terhadap media yang ada
melalui cara-cara seperti apa yang mereka tuduhkan terhadap media
tersebut.
Dan jawabannya adalah Literasi.
Di bumi bagian
lain membaca bukanlah suatu hobi ataupun tugas, tapi sudah menjadi
bagian dari kehidupan selayaknya makan dan bernafas (oke, saya lebay).
Terhadap informasi yang beredar, filter mereka lebih berfungsi, mereka
cenderung untuk mencari tahu kebenaran melalui sumber lain, ditambah
lagi kemampuan berpikir secara terbuka yang semakin memperpanjang sumbu
nalar, secara sederhana hal-hal ini dapat meminimalisir peluang untuk
menelan mentah segala informasi.
Sementara itu di sisi lain,
budaya literasi yang tidak sebanding bisa kita lihat melalui berita yang
bermodal provokasi jualan agama+kebencian dengan headline seperti
"Astagfirullah! Terbongkar sudah, ternyata blablabla..." bisa laku
terjual melalui ratusan bahkan ribuan klik dan share. Rendahnya budaya
literasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang melihat ini sebagai peluang
bisnis untuk meningkatkan traffic visitor. Ya, keluguan+kebencian bisa
dengan mudah dijadikan uang di era informatika.
Kembali lagi soal
pembicaraan, saya sering mengarahkan pembicaraan saya dengan
teman-teman traveller lintas bangsa tersebut dengan topik "kenapa sih
kalian ngga ngunjungin Indonesia?"
Saya bertanya hal tersebut
karena cukup ironis, dari traveller yang saya temui kebanyakan mereka
pernah atau berminat untuk mengunjungi negara Asia Tenggara seperti
Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand, sementara Indonesia yang
dengan peta apapun jauh lebih luas dari negara Asia Tenggara lainnya
justru dijadikan pilihan terakhir, padahal kita tahu kalau wisata alam
keren seperti apa yang tidak ada di Indonesia selain salju?
Tadinya saya menduga karena isu terorisme adalah alasan utama mereka
mengapa cenderung menjadikan Indonesia pilihan destinasi di bawah negara
Asia Tenggara lainnya, tapi dari alasan yang mereka lontarkan ternyata
penyebabnya sederhana : mereka tidak tahu banyak Indonesia ataupun akses
menuju tempat wisata selain Bali.
Penyebab ini masuk akal dan
sangat beralasan, jika saya berada di sisi orang asing, tentunya akan
sulit bagi saya untuk mengetahui dan menuju ke tempat-tempat keren di
Indonesia tanpa adanya promosi atau informasi yang memadai, terlebih
siapa yang mau menghabiskan uang hanya untuk ketidakjelasan, bukan?
Sebetulnya hal ini bisa dijadikan peluang besar, daripada membuat kaya
para pemilik portal berita tidak jelas juntrungan dengan memanfaatkan
kebencian kita, mengapa tidak berjuang kreatif menambah pundi-pundi
rupiah dengan mempromosikan paket wisata daerah sendiri?
Dunia saat ini
sudah masuk era borderless, segala informasi bisa disebarkan kemanapun
dan kapanpun, selalu ada peluang selama kita mau berpikir positif dan
terbuka.
Kaohsiung, Taiwan.
(berangkat dari pemikiran yang ngalor ngidul)
0 komentar:
Posting Komentar