Sewaktu masih lucu-lucunya seperti Komeng di
bangku SD belasan tahun yang lalu, bapak tidak pernah mengizinkan saya untuk
memiliki Play Station sementara kawan-kawan lainnya sudah memiliki konsol game
jutaan umat ini, selain karena saat itu harganya sangat mahal, bapak juga
termasuk golongan konservatif untuk urusan ini, bagi bapak bermain game hanya
membuang-buang waktu produktif yang harusnya bisa dipakai untuk membaca buku,
belajar, bermain sepakbola, atau latihan bungee jumping.
Karena larangan itulah, Play Station bagi saya adalah sebuah
kemewahan yang rasanya sulit untuk dimiliki, pergi ke rental adalah
satu-satunya jalan rasional yang dapat saya tempuh saat itu ditambah menjalani
tirakat terbaik dengan menahan lapar dan haus untuk menghemat uang jajan demi
bisa pergi ke rental.
Di masa itu juga, saat teman-teman lain masih sibuk berpikir
soal menamatkan game apa, saya sudah
berpikir “Pasti di surga nanti ada Play Station yang bisa dimainkan sepuasnya
tanpa dibatasi waktu seperti di rental!”
Saya sudah menjadi filsuf di usia yang masih sangat belia.
Karena pikiran tentang Play Station di surga itulah saya
mendadak menjadi rajin ke masjid untuk salat dan mengaji, eh diawali dengan
wudhu dulu pastinya biar sah, saya bahkan menyelipkan kata Play Station di
dalam doa yang dipanjatkan setiap harinya, karena kuantitas beribadah inilah
seakan-akan saya merasa sudah berhijrah before
it was so popular like people are doing nowadays.
***
Belasan tahun setelah momen “PS di surga” itu berlalu, saya
mengalami kejadian yang menarik, beberapa minggu sebelum artikel ini diketik
(karena kalau ditulis tangan saya enggak pe-de, tulisan tangan saya jelek).
Saya menghadiri sebuah acara tertutup dimana acara tersebut
menghadirkan seorang ustadz untuk mengisi ceramah, awalnya materi yang disampaikan
masih lazimnya tentang kebaikan dan ibadah, tapi saya langsung terkejut saat
beliau bilang
“Nanti di surga kita akan mendapatkan istana yang megah dan
mewah beserta seisinya”
Jleb, saya langsung kepikiran dengan orang yang semasa hidup
merasa nyaman dengan kesederhanaan, kasihan rasanya kalau masuk surga seperti
ini.
Dan saya mendadak ingat dengan Mbak Kalis yang kata Agus
Mulyadi Mojok dalam pledoi di official Instagramnya bilang “rumah idamannya bukan
rumah kompleks elit yang selalu ada AC dan garasi mobilnya, melainkan rumah
sederhana dengan kandang ayam di halaman belakang”.
Saya enggak tahu apakah Mbak Kalis punya cita-cita masuk surga seperti yang digambarkan sang ustadz itu?
Saya enggak tahu apakah Mbak Kalis punya cita-cita masuk surga seperti yang digambarkan sang ustadz itu?
Di lain hal saya juga ingat, dulu sewaktu SMA saya pernah
diceramahi oleh senior perihal surga, kata beliau “surga itu dikelilingi oleh
pegunungan yang sejuk, lapangan rumput yang luas, buah-buahan segar yang
berlimpah, dan sungai yang berisi aliran air susu”
Lalu saya bilang “lah, bukannya hal yang kaya gitu di
Indonesia juga banyak? Mau pegunungan ada, mau pantai banyak, mau laut sampai
kelelep juga silakan, apalagi buah, piye? Enak toh tinggal di negeri tropis?”
Tapi saya bilang itu di dalam hati, jadi senior saya itu
enggak denger, sengaja biar dia tidak tersinggung karena saya sedikit mempertanyakan
tentang surga versi dia.
Disadari atau tidak, seringkali kita membuat konsep-konsep
tentang surga sesuai dengan fondasi ideal kemewahan kita. Saya baru sadar hal
ini saat salah seorang teman jauh (karena kalau dekat terlalu mainstream) bilang “konsep surga dengan
air yang mengalir dan pegunungan yang adem itu adalah sebuah kemewahan untuk
mereka yang tinggal di daerah gurun yang tandus, lha buat kita yang tinggal di
tempat tropis ini yang namanya kemewahan itu ya salju, coba liat ada berapa
ratus ribu orang Indonesia yang cengengesan nyengir kuda pas pertama ketemu
salju waktu vakansi ke luar negeri?”
Dan saya merasa tersindir, karena saya adalah satu dari
sekian banyak para nyengir kuda-ers itu.
***
Konsep-konsep kemewahan untuk menggapai sorga itu terkadang
bisa mengarahkan kita hubungan vertikal kita denganNya menjadi bersifat
transaksional. Transaksional dalam hal ini seperti halnya kita berdagang, jelas
berharap keuntungan sebesar-besarnya.
Hubungan transaksional ini juga bisa mempengaruhi niat kita
untuk beribadah. Alih-alih untuk mendistribusikan kekayaan agar lebih merata,
hati kecil kita berharap uang yang kita keluarkan untuk sedekah dapat kembali
ke kita menjadi sepuluh atau seratus kali lipat. Hayooo? Pernah, kan?
Mindset
materialistik ternyata juga mampu mempengaruhi persepsi kita tentang surga,
mungkin kalian yang unyu-unyu ini juga pernah sekali-dua ratus kali
denger ceramah tentang surga seperti yang saya alami seperti tadi, tentang
sorga yang isinya istana, harta tak terbatas, kemewahan bertumpuk, atau bahkan
bidadari yang jumlahnya melimpah.
Karena itulah di satu ketika saya pernah kepikiran “ini
surga kok jadi semacam pembalasan dendam atas nafsu yang enggak kesampaian di
dunia?”
Bagi saya esensi ibadah itu sederhana, yaitu untuk
mendapatkan ketenangan. Bahkan sampai sekarang saya bahkan tidak berani
memastikan tentang “hasil akhir” dari ibadah yang saya lakukan, saya beribadah
agar saya tenang dan dengan ketenangan itu saya bisa berbagi kebahagiaan dengan
orang lain, karena saya penganut paham bahwa kebahagiaan itu harus menular.
Atau jangan-jangan ribut sana-sini yang sering muncul di media sosial muncul karena obsesi berlebih kita akan “hasil akhir”? Alih-alih mencari ketenangan spiritual kita malah sering terfokus untuk mengurus surga-neraka orang lain? Ah cukup tanyakan pada rumput yang bergoyang, pohon yang dangdutan.
Akhir kata, saya jadi teringat satu dekade yang lalu
Almarhum Chrisye pernah membuat kolaborasi paling keren dengan kakanda Ahmad
Dhani di sebuah tembang dengan lirik teryahud:
Jika surga dan neraka tak pernah ada
masihkah kau sujud kepadaNya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada
masihkah kau menyebut namaNya?
masihkah kau sujud kepadaNya?
Jika surga dan neraka tak pernah ada
masihkah kau menyebut namaNya?
*Tentunya ini muncul sebelum lagu neng neng nong neng dibeli kakanda Ahmad Dhani untuk menghentak
ranah musik Indonesia, bukan begitu, kisanak?
0 komentar:
Posting Komentar